Mengapa Ayah Tega Meninggalkan Kami?
Pertanyaan Kaum Muda . . .
Mengapa Ayah Tega Meninggalkan Kami?
”Saya tidak habis pikir mengapa Ayah tega meninggalkan kami. Saya tahu tentang kepergiannya cuma dari cerita Ibu.”—Yudha. *
KETIKA Ayah berkemas lalu angkat kaki dari rumah, sering kali yang ditinggalkannya adalah serangkaian kepedihan dan kegetiran. ”Saya sangat terpukul sewaktu Ayah dan Ibu bercerai,” kata Yudha, remaja berusia 14 tahun, yang pernyataannya dikutip di awal artikel ini. Dan, apabila sang ayah pergi begitu saja dan sama sekali tidak pernah memberi kabar, anak-anaknya mungkin akan bergelut mengatasi perasaan bersalah, perasaan ditolak, dan perasaan kesal selama bertahun-tahun. *
Kalaupun ayah Anda angkat kaki dari rumah, boleh jadi Anda merasa getir mengetahui pangkal sebab kepergiannya. ”Papa pergi karena kecantol wanita lain,” kata pemuda bernama Mario. ”Sekali waktu, saya memergoki Papa sedang bersama wanita itu, dan saya marah besar. Saya merasa Papa telah mengkhianati kami.” Di pihak lain, dalam beberapa kasus, perginya sang ayah malah mendatangkan kelegaan. Melisa, yang ayahnya kecanduan alkohol, berkata, ”Jika Papa tetap tinggal serumah dengan kami, keadaan kami pasti akan lebih susah.”
Tetapi, pada umumnya, anak-anak sama sekali tidak tahu mengapa ayah mereka pergi, dan ketidakhadiran sang ayah ini bisa terasa sangat menyakitkan. Memang, Anda mungkin sudah tahu bahwa hubungan orang-tua Anda sedang dilanda masalah, tetapi sedikit pun tidak terpikirkan bahwa mereka akan berpisah. Ridwan mengenang, ”Sewaktu Papa pergi, saya benar-benar tidak mengerti duduk perkaranya. Yang saya tahu, pasti ada masalah antara Papa dan Mama karena mereka bertengkar terus.”
Mengapa ada ayah yang sampai hati meninggalkan keluarganya? Jika ayah Anda meninggalkan rumah, haruskah Anda menganggap Ayah tidak peduli lagi pada Anda? Dan, mengapa orang-tua Anda enggan menceritakan duduk persoalannya kepada Anda? Tidakkah mereka seharusnya menjelaskan semuanya kepada Anda?
Mengapa Mereka Tetap Bungkam
Alasan-alasan di balik kepergian seorang ayah tidak ada yang enak didengar. Kebanyakan, alasannya adalah perzinaan—perbuatan tercela yang biasanya disembunyikan rapat-rapat dalam keluarga. Sewaktu sang istri mengetahui perbuatan salah itu, ia mungkin memutuskan untuk menceraikan suaminya. Ia mungkin meminta sang suami
untuk pergi secara diam-diam sebelum perceraian diproses. Anak-anak mungkin sama sekali tidak tahu-menahu tentang semua ini.Meskipun demikian, berupayalah memaklumi mengapa ibu Anda mungkin enggan menceritakan duduk persoalannya. Antara lain, ia mungkin merasa bahwa menyingkapkan perbuatan Ayah yang tercela itu hanya akan menimbulkan kepedihan. Sadarilah pula betapa sakitnya perasaan seorang wanita sewaktu mendapati suaminya telah berselingkuh. (Maleakhi 2:13, 14) Jadi, jika perzinaan merupakan pangkal sebab perpisahan orang-tua Anda, jangan heran bila ibu Anda tetap bungkam karena masalah itu terlalu menyakitkan baginya.
Bagaimana dengan ayah Anda? Dapat dimaklumi, jika ia telah menyeleweng dari ibu Anda, kemungkinan besar ia tidak akan membicarakannya dengan Anda. Beberapa pria merasa sangat bersalah atas perbuatannya yang tercela sampai-sampai mereka tidak sanggup bertemu muka dengan anak-anaknya! Tetapi, meskipun telah melakukan hal-hal yang memalukan, banyak ayah tetap mengasihi anak-anaknya dan mungkin berupaya untuk memulihkan hubungan dengan mereka.
Dalam beberapa kasus, ayah pergi dari rumah karena perbuatan tercela di pihak istri, dan ia berupaya sedapat-dapatnya untuk tetap dekat dengan anak-anaknya. Namun, dalam kasus-kasus lain, perceraian sama sekali bukan disebabkan oleh perzinaan, melainkan sebagai puncak pertengkaran selama bertahun-tahun. * (Amsal 18:24) Karena sering kali semua ini terjadi di balik pintu yang terkunci, Anda mungkin tidak tahu-menahu apa yang sedang mereka pertengkarkan.
Alkitab mengatakan di Amsal 25:9, ”Belalah perkaramu dengan sesamamu, dan jangan singkapkan pembicaraan konfidensial orang lain.” Kadang-kadang, pertengkaran dalam perkawinan berkisar pada hal-hal yang bersifat intim dan pribadi. Percaya atau tidak, mungkin sebaiknya Anda tidak usah tahu mengenai hal-hal itu. Selain itu, menyingkapkan ”pembicaraan konfidensial” sering kali malah memperburuk keadaannya. Anda mungkin merasa terdorong untuk memihak—dan itu hanya akan memperlebar keretakan dalam keluarga Anda. Jadi, demi kebaikan jangka panjang, memang sudah seharusnya orang-tua Anda tidak mengungkapkan detail pertengkaran mereka.
Atasi Sakit Hati dengan Memperoleh Pemahaman
Meskipun demikian, sulit rasanya untuk tidak merasa marah dan sakit hati apabila ayah Anda pergi dari rumah dan Anda tidak tahu alasannya. Akan tetapi, di Amsal 19:11, Alkitab mengatakan, ”Pemahaman seseorang pasti memperlambat [namun tidak mesti melenyapkan] kemarahannya.” Dan, Anda tidak perlu menyelidiki semua perincian masalahnya untuk memperoleh pemahaman tersebut.
Misalnya, Alkitab membantu kita memahami bahwa orang-tua kita tidak sempurna. Alkitab mengatakan, ”Semua orang telah berbuat dosa dan gagal mencapai kemuliaan Allah.” (Roma 3:23) Dengan mencamkan kenyataan pahit tersebut, Anda dapat terbantu untuk berpandangan sepatutnya terhadap kesalahan orang-tua Anda. Misalnya, jika ayah Anda telah menodai ikrar perkawinannya, itu merupakan kesalahan serius—yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah. (Ibrani 13:4) Tetapi, itu tidak berarti bahwa ia telah mencampakkan Anda atau bahwa ia tidak sayang lagi pada Anda.
Semua pasangan suami-istri menderita ”kesengsaraan dalam daging mereka”. (1 Korintus 7:28) Dan, meskipun pengumbaran hasrat daging tidak dapat dibenarkan, ada pria dan wanita yang menyerah dan melakukan perbuatan salah itu di bawah tekanan hidup di dunia yang sarat masalah ini. Ridwan mengenang, ”Papa menginginkan yang terbaik bagi kami. Kami sekeluarga diboyongnya ke daerah yang ia rasa dapat menyediakan sumber nafkah yang lebih baik, supaya kami dapat memiliki rumah yang bagus dan seluruh keluarga akan berbahagia.” Tetapi, upaya sang ayah ini, yang didasari niat baik untuk menyediakan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga, mulai melenceng. Ridwan menjelaskan, ”Papa mulai jarang berhimpun. Kemudian, ia kehilangan pekerjaan. Beberapa saat kemudian, ia mulai mengasari ibu dan saudara perempuan saya.” Tak lama kemudian, keadaannya memburuk sampai-sampai ayah dan ibunya bercerai.
Ridwan bisa saja terus-menerus dirundung kegetiran karena kegagalan sang ayah. Tetapi, setelah memahami situasi yang dialami ayahnya, ia dapat memadamkan kemarahannya. Meskipun kandasnya perkawinan orang-tuanya itu memang tragis, peristiwa ini mengajarkan hikmah penting bagi Ridwan. Katanya, ”Apabila saya berkeluarga kelak, perkara-perkara rohani harus selalu diutamakan.”
Mario, yang disebutkan di awal, juga harus mengatasi perasaan getirnya. ”Ingin rasanya saya menyakiti Papa atas semua perbuatannya terhadap kami,” akunya. Tetapi, ia tetap menjaga hubungan dengan ayahnya. Seraya waktu berlalu, Mario bahkan dapat mengatasi kemarahannya dan kembali menjalani kehidupannya.
Anda pun mungkin ingin memelihara hubungan yang wajar dengan ayah Anda sejauh keadaan mengizinkan. Memang, ia boleh jadi telah menyakiti Anda dan ibu Anda. Tetapi, kemungkinan besar Anda tidak mengetahui seluruh duduk perkaranya. Dan, meskipun Anda tahu bahwa ia telah melakukan perbuatan salah, ia tetap ayah Anda. Anda berkewajiban untuk setidaknya memperlihatkan respek kepadanya. (Efesus 6:1-3) Hindarilah ”kemarahan dan murka dan teriakan serta cacian” sewaktu berurusan dengannya. (Efesus 4:31) Sedapat mungkin, tetaplah netral dalam menyikapi pertikaian pribadi orang-tua Anda seputar perkawinannya. Dengan meyakinkan kedua orang-tua Anda bahwa Anda mengasihi mereka, Anda akan dapat menikmati hubungan baik dengan mereka berdua.
Itu Bukan Kesalahan Anda
Ditinggal pergi Ayah mungkin adalah salah satu pengalaman yang paling menyakitkan. Tetapi, sekalipun Anda tidak pernah tahu alasan kepergiannya, Anda tidak perlu merasa bahwa itu semua karena kesalahan Anda. Memang, Anda mungkin merasa diabaikan. Tetapi, sangat jarang suatu perkawinan retak gara-gara anak. Orang-tua Anda telah berikrar di hadapan Allah untuk tetap bersama. Melaksanakan ikrar itu adalah tanggung jawab mereka—bukan Anda.—Pengkhotbah 5:4-6.
Namun, jika Anda masih merasa bingung, merasa bersalah, atau merasa bertanggung jawab atas persoalan ini, tidakkah sebaiknya Anda mengemukakan perasaan Anda ini kepada orang-tua? Mereka mungkin akan bersikap terbuka dan memberikan pengertian yang Anda butuhkan. Yudha, yang dikutip di awal artikel, mengakui, ”Dulu saya berpikir bahwa sayalah penyebab masalah ini, sampai ayah dan ibu duduk bersama saya dan berbicara dengan saya.” Niken pun merasa bersalah sewaktu ayah dan ibunya bercerai. Setelah beberapa kali berbicara dengan ibunya, Niken dapat menyimpulkan, ”Anak-anak seharusnya tidak boleh menyalahkan diri atas perbuatan orang-tuanya.” Dengan membiarkan orang-tua Anda ”memikul tanggungannya sendiri”, Anda tidak akan merasa kewalahan secara emosi. (Galatia 6:5) Namun, bagaimana sekarang Anda dapat menjalani kehidupan tanpa kehadiran ayah? Serial artikel kami berikutnya akan memberikan jawabannya.
[Catatan Kaki]
^ par. 3 Beberapa nama telah diganti.
^ par. 4 Lihat seri artikel sampul ”Keluarga Tanpa Ayah—Menghentikan Siklusnya”, dalam terbitan Sedarlah! 8 Februari 2000.
^ par. 12 Akan tetapi, Alkitab menerangkan dengan jelas bahwa satu-satunya dasar Alkitab untuk mengakhiri perkawinan yang membolehkan kedua belah pihak menikah kembali adalah percabulan.—Matius 19:9.
[Gambar di hlm. 15]
Jangan salahkan diri sendiri atas masalah perkawinan orang-tua Anda