Langsung ke konten

Langsung ke daftar isi

Bagaimana Saya Dapat Menolaknya secara Baik-Baik?

Bagaimana Saya Dapat Menolaknya secara Baik-Baik?

Kaum Muda Bertanya . . .

Bagaimana Saya Dapat Menolaknya secara Baik-Baik?

”Pada musim panas ini, seorang saudara di sidang menaruh hati pada saya. Sebenarnya, saya tidak pernah menyukainya. Tapi masalahnya, saya tidak tahu bagaimana cara menolak tanpa menyakiti perasaannya.”—Agreyta. *

”BOLEHKAH saya mengenalmu lebih dekat?” Pernahkah seorang pemuda mengajukan pertanyaan seperti itu kepada Anda? Sebagai remaja putri, * Anda mungkin akan merasa senang dan tersanjung—bahkan tergetar! Di sisi lain, Anda mungkin merasa bingung karena tidak tahu harus menjawab apa.

Sewaktu seseorang menyatakan minat romantisnya kepada Anda, hal itu dapat menimbulkan berbagai macam emosi. Khususnya, bila Anda sudah cukup dewasa untuk menikah sehingga memang sudah waktunya untuk menanggapi perhatian semacam itu! * Meskipun demikian, yang sangat menentukan reaksi Anda adalah siapa sang pemberi perhatian itu. Jika orangnya matang secara emosi dan Anda sendiri tertarik kepadanya, maka jawaban Anda akan menjadi lebih mudah. Namun, bagaimana jika orangnya jelas-jelas tidak memenuhi kriteria Anda sebagai teman hidup yang cocok? Atau, bagaimana jika, sekalipun orang itu memiliki sifat-sifat yang baik, Anda sendiri tidak memiliki minat romantis terhadapnya?

Pertimbangkan pula situasi yang dihadapi seorang remaja putri yang sempat berkencan dengan seseorang untuk beberapa waktu tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak ingin menghabiskan seluruh hidupnya bersama pria itu. Sebaliknya daripada memutuskan hubungan, dia tetap mempertahankan hubungan itu. ”Bagaimana saya dapat menolak dia secara baik-baik?” tanyanya.

Bila Anda Tidak Memiliki Minat Romantis

Pada masa patriarkat, perjodohan tampaknya diatur oleh para orang tua. (Kejadian 24:2-4, 8) Di negeri-negeri Barat, kebanyakan orang Kristen dapat memilih sendiri pasangan hidup mereka. Alkitab memberikan satu ketetapan—bahwa seorang Kristen dapat menikah ”asalkan dalam Tuan”.—1 Korintus 7:39.

Apakah ini berarti bahwa Anda harus menikahi rekan seiman mana pun yang menyatakan minatnya kepada Anda atau yang telah berkencan dengan Anda selama beberapa waktu? Nah, pertimbangkan contoh Alkitab tentang seorang gadis muda dari desa Syunem di Timur Tengah. Salomo, rajanya, melihat dia dan sangat jatuh hati padanya. Akan tetapi, ketika Salomo berupaya mengejarnya, gadis muda ini tidak hanya menolak sang raja tetapi juga memohon kepada wanita-wanita istana yang melayani sang raja untuk ’tidak berupaya membangunkan atau membangkitkan cinta dalam dirinya sebelum dikehendakinya’. (Kidung Agung 2:7) Gadis yang berhikmat ini tidak membiarkan orang lain mempengaruhinya untuk membuat keputusan yang hanya berdasarkan emosi semata. Dia benar-benar tidak tertarik secara romantis kepada Salomo, karena dia hanya mencintai seorang gembala yang sederhana dan rendah hati.

Hal ini menjadi pelajaran penting bagi orang-orang yang sedang mempertimbangkan untuk menikah dewasa ini: Kasih asmara tidak dapat diberikan kepada siapa saja. Jadi, meskipun telah berkencan dengan seseorang selama beberapa waktu, seorang remaja putri bisa jadi mendapati bahwa sebenarnya dia tidak tertarik secara romantis kepada orang itu. Mungkin, ketidaktertarikan itu muncul setelah mengamati beberapa kelemahan pada karakter orang tersebut. Atau, sang remaja putri mungkin sama sekali tidak pernah tertarik kepadanya. Oleh karena itu, alangkah bodohnya jika perasaan-perasaan seperti itu diabaikan. Pengabaian itu tidak akan dapat mengubah kenyataan. * ”Dalam benak saya, ada banyak keraguan tentang dia,” kata Tamara tentang pemuda yang berkencan dengannya. ”Bukan hanya keraguan sepele, melainkan hingga taraf saya merasa begitu tegang dan waswas bila sedang bersamanya.” Tamara belakangan menyadari bahwa karena keraguan-keraguan ini, langkah yang terbaik adalah mengakhiri hubungan tersebut.

Mengapa Sulit untuk Menolak

Namun, menolak seorang pemuda bisa jadi lebih sulit daripada yang dibayangkan. Seperti Agreyta, yang disebutkan di awal tadi, Anda mungkin khawatir akan menyakiti perasaannya. Memang, kita hendaknya peka terhadap perasaan orang lain. Alkitab menganjurkan orang Kristen untuk ’mengenakan keibaan hati yang lembut’ dan memperlakukan orang lain sebagaimana mereka sendiri ingin diperlakukan. (Kolose 3:12; Matius 7:12) Namun, apakah ini berarti bahwa lebih baik Anda berpura-pura saja supaya tidak mengecewakan atau menyakiti pria ini? Cepat atau lambat, dia pasti akan mengetahui perasaan Anda yang sesungguhnya, dan jika Anda tidak jujur dan menunggu lebih lama untuk memberi tahu dia hal yang sebenarnya, maka hal ini akan lebih menyakitkan. Bahkan, yang lebih parah lagi adalah jika Anda menikahi pria itu hanya karena tidak tega melukai perasaannya. Rasa kasihan adalah fondasi yang rapuh untuk membangun sebuah perkawinan.

Namun, mungkin Anda bergelut melawan pikiran seperti ini, ’Jika saya tidak menikah dengan dia, mungkin saya tidak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi.’ Seperti yang dimuat dalam sebuah artikel majalah Teen, seorang gadis mungkin berpikir, ”Memang sih, dia bukan pilihan yang terbaik, tetapi setidaknya dialah pilihan yang ada—dan kita tidak mungkin sendirian terus.” Memang, hasrat untuk bersahabat sangatlah kuat. Akan tetapi, untuk memenuhi hasrat ini dengan cara yang patut, dibutuhkan lebih dari sekadar memiliki teman hidup. Hal ini menyangkut menemukan seseorang yang sungguh-sungguh Anda cintai dan yang mampu memikul tanggung jawab perkawinan yang berdasarkan Alkitab. (Efesus 5:33) Jadi, jangan terlalu cepat mengambil keputusan dalam menetapkan calon teman hidup! Banyak yang akhirnya menyesal karena terburu-buru menikah.

Akhirnya, beberapa orang mungkin meneruskan hubungan meski jelas-jelas sang pemuda memiliki cacat kepribadian yang serius. ’Jika saya memberinya sedikit waktu lagi, kemungkinan dia dapat berubah,’ demikian alasan mereka. Apakah penalaran ini benar-benar masuk akal? Sebenarnya, kebiasaan dan pola perilaku yang buruk sering kali sudah berurat-berakar dan sangat sulit untuk diubah. Sekalipun dia tiba-tiba membuat perubahan 180 derajat, dapatkah Anda yakin bahwa perubahan ini bersifat permanen? Dalam situasi seperti ini, seorang remaja putri yang bernama Marni dengan bijaksana memutuskan hubungannya dengan seorang pemuda sewaktu menyadari bahwa mereka berdua tidak memiliki tujuan yang sama. ”Hal itu memang menyakitkan,” akunya, ”karena secara fisik dia memang menarik. Tapi, saya sadar bahwa inilah jalan terbaik.”

Sampaikanlah dengan Hati-Hati

Memang, menolak seseorang tidaklah mudah. Seperti sebuah bungkusan yang berisi barang pecah belah, situasinya harus ditangani dengan sangat hati-hati. Di bawah ini ada beberapa saran yang mungkin dapat membantu Anda.

Bahaslah hal ini bersama dengan orang tua Anda atau dengan seseorang yang matang di dalam sidang. Mereka dapat membantu Anda untuk menganalisis, apakah harapan Anda memang realistis atau tidak.

Sampaikan dengan jelas dan terus terang. Jangan biarkan dia menerka-nerka perasaan Anda yang sebenarnya. Jika Anda hanya sekadar mengatakan ”Tidak, terima kasih”, pernyataan itu justru akan lebih mengecilkan hatinya. Jika perlu, nyatakan penolakan Anda dengan lebih jelas, seperti, ”Maaf ya, saya benar-benar tidak menaruh hati padamu.” Berhati-hatilah agar jangan memberi kesan bahwa Anda akan berubah pikiran jika ia lebih gigih lagi. Dengan memperjelas bahwa Anda tidak memiliki perasaan romantis terhadapnya, hal ini tidak akan membuatnya bingung sekaligus memudahkan dia untuk mengatasi kekecewaannya.

Seimbangkan kejujuran dengan kebijaksanaan. Amsal 12:18 menyatakan, ”Ada orang yang berbicara tanpa dipikir bagaikan dengan tikaman-tikaman pedang.” Meskipun penting untuk berterus terang, Alkitab mengatakan bahwa ucapan kita harus ”menyenangkan, dibumbui dengan garam”.—Kolose 4:6.

Berpegang pada keputusan Anda. Sahabat-sahabat yang beritikad baik, yang mungkin tidak terlalu tahu alasan di balik keputusan Anda, boleh jadi akan mendesak Anda agar memberikan kesempatan bagi pemuda itu untuk memperbaiki hubungan. Namun, pada akhirnya, Anda-lah yang akan menanggung keputusan itu—bukan sahabat Anda itu.

Bertindaklah selaras dengan kata-kata Anda. Sebelumnya, kalian mungkin bersahabat akrab, dan memang wajar jika kalian ingin tetap mempertahankan keakraban itu. Tetapi, hal itu biasanya mustahil dan tidak praktis. Dia pernah memiliki perasaan romantis terhadap Anda. Apakah masuk akal untuk berpikir bahwa dia dapat mengabaikan perasaan itu begitu saja dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa? Jelaslah, walaupun baik bagi kalian untuk memperlakukan satu sama lain dengan ramah, namun dengan sering bercakap-cakap lewat telepon atau dengan menghabiskan banyak waktu bersama-sama dalam berbagai acara sosial, hal itu hanya akan mengobarkan penderitaannya. Hal itu sama saja dengan mempermainkan emosinya dan bukan suatu tindakan yang beriba hati.

Rasul Paulus mendesak orang Kristen untuk ’mengatakan kebenaran’ kepada sesamanya. (Efesus 4:25) Prakteknya bisa jadi sulit, namun hal itu akan membantu Anda berdua meneruskan kehidupan seperti sediakala.

[Catatan Kaki]

^ par. 3 Beberapa nama telah diganti.

^ par. 4 Meskipun artikel ini terutama ditujukan kepada para remaja putri, prinsip-prinsipnya juga berlaku bagi para pemuda.

^ par. 5 Bahayanya berkencan terlalu muda dibahas dalam terbitan 22 Januari 2001.

^ par. 10 Lihat artikel ”Young People Ask . . . Should We Break Up?” yang muncul di Awake! 22 Juli 1988.

[Kutipan di hlm. 13]

Kasih asmara tidak dapat diberikan kepada siapa saja

[Gambar di hlm. 14]

Sampaikan penolakan Anda dengan jelas dan terus terang