Langsung ke konten

Langsung ke daftar isi

”Permata di Dalam Laut”

”Permata di Dalam Laut”

”Permata di Dalam Laut”

Diatom, alga atau tumbuhan bersel tunggal mikroskopik yang terbungkus dalam cangkang kaca yang dekoratif dengan corak yang sangat indah, terdapat dalam jumlah yang sangat besar di setiap lautan. Diatom mempesona para ilmuwan selama berabad-abad​—sejak mikroskop pertama kali ditemukan sehingga manusia dapat mensketsa keindahannya. Sepantasnyalah, diatom disebut permata di dalam laut.

Alfred Nobel, penemu dinamit pada tahun 1860-an, menggunakan silika yang terdapat pada diatom untuk menstabilkan nitrogliserin, guna membentuk dinamit batangan. Dewasa ini, cangkang diatom yang sudah menjadi fosil digunakan dalam banyak produk komersial​—misalnya, untuk memurnikan anggur, menyaring air kolam renang, dan membuat cat marka jalan memantulkan sinar.

Namun, yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa tumbuhan mini bersel tunggal ini berperan dalam 25 persen fotosintesis yang berlangsung di planet kita. Peneliti Allen Milligan dan Francois Morel, dari Universitas Princeton, AS, menemukan bahwa silika pada cangkang kaca diatom menimbulkan perubahan kimia pada air dalam cangkang tersebut, sehingga terciptalah lingkungan yang ideal untuk fotosintesis. Cangkang kaca itu bisa begitu dekoratif karena, menurut para ilmuwan, sebagian besar permukaannya terkena air yang terdapat di dalam sel itu, sehingga proses fotosintesisnya lebih efisien. Para peneliti masih belum tahu bagaimana persisnya cangkang kaca yang indah nan mungil ini terbentuk dari silikon yang larut dalam air laut, tetapi fakta yang mereka ketahui adalah bahwa dengan menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen, diatom memainkan peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan di bumi, mungkin bahkan lebih penting daripada kebanyakan tumbuhan darat.

Morel menilai diatom ”sebagai organisme yang paling ulet dan subur di bumi”. Milligan menambahkan bahwa jika diatom tidak punya selera yang besar untuk memakan karbon dioksida, ”efek rumah kaca bisa jadi jauh lebih parah”.

Sewaktu diatom mati, sisa-sisa karbonnya tenggelam ke dasar lautan dan akhirnya menjadi fosil. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dalam bentuk fosil dan di bawah tekanan yang sangat kuat, diatom turut menghasilkan cadangan minyak dunia. Akan tetapi, keadaannya makin memprihatinkan karena meningkatnya temperatur air laut akibat pemanasan global menyebabkan bakteri memakan sisa-sisa diatom sebelum tenggelam, dan karbonnya dilepaskan kembali ke permukaan air. Jadi, ”permata di dalam laut” yang mungil itu pun, yang adalah bagian dari sistem penunjang kehidupan yang dirancang secara menakjubkan, kini bisa terancam punah.

[Keterangan Gambar di hlm. 31]

© Dr. Stanley Flegler/Visuals Unlimited